Senin, 07 Mei 2012

Kasih MAma

Sebuah kisah nyata telah terjadi….

Hari itu adalah hari ulang tahun Ana yang ke duapuluh. Kakek dan nenek Ana sibuk menyiapkan segalanya pada hari yang berbahagia itu. Dalam keadaan demikian, hati Ana justru resah menantikan kedatangan pak pos. Seperti yang terjadi pada setiap hari ulang tahunnya, mamanya yang tersayang pasti akan mengirimkan surat dan ucapan selamat dari Amerika.

Dalam ingatan Ana, sejak dia masih kecil mama telah pergi bekerja di Amerika. Begitu juga yang diceritakan kakek dan nenek kepadanya.
Dalam ingatannya yang telah memudar, dia masih mengingat dulu semasa kecil, mama pernah menggendongnya dengan penuh kasih dan memandangnya dengan sorotan mata lembut bagai cahya rembulan. Semua ini adalah bayangan yang masih ada dalam benaknya, juga saat indah yang sering dimimpikannya.

Namun, semua ini hanya tampak bayang-bayang. Dalam hati Ana, amat mengharapkan kepulangan mama, namun di sisi lain juga ada pertanyaan yang tak terjawab,”Mengapa mama tega meninggalkan aku yang masih begitu kecil untuk pergi jauh?” Dalam pemahamannya, mama gagal dalam pernikahan dan meninggalkan suaminya yang tak bertanggung jawab. Sejak kecil, kala merindukan mama, Ana selalu merengek dan memohon kepada kakek dan nenek untuk membawanya ke Amerika berjumpa dengan mama tersayang. Kakek-nenek selalu menjawab dengan wajah berbasuh air mata,”Mamamu sibuk bekerja di Amerika, dia juga sangat merindukan Ana, namun dia tak bisa menemani Ana. Maafkanlah mamamu, suatu hari nanti engkau akan mengerti semua ini.”

Dengan jantung berdetak kencang, Ana terus menantikan kedatangan surat mama pada hari ulang tahunnya yang ke dua puluh ini. Dia membuka kotak kesayangannya yang berisi kumpulan surat mama sejak Ana kecil sampai hari ini. Dari tumpukan kertas surat yang telah menguning diambil selembar surat dari mama. Ini adalah surat mama untuknya saat Ana berusia enam tahun dan mulai masuk sekolah. Mama berpesan,”Ana sudah masuk sekolah ya, banyak teman menemanimu bermain. Ana harus bergaul dengan baik, pakaian harus selalu dirapikan, rambut juga diikat dengan rapi ya..” Sepucuk surat lain diambilnya, ini adalah surat mama saat dia berusia enam belas tahun dan mulai masuk SMU. “Dalam ujian belajarlah sepenuh hati, masa depan nanti harus mengandalkan kemampuan yang didapatkan dengan penuh jerih payah. Dengan bekal ilmu pengetahuan, Ana baru dapat berlaga di masyarakat,” mama berpesan.

Dalam setiap pucuk surat, mama menyampaikan kasihnya yang tiada batas kepada puteri tunggalnya. Semua surat mama ini merupakan kasih dan motivasi terbesar bagi Ana selama pertumbuhannya belasan tahun ini. Setiap malam sebelum tidur, saat Ana merindukan mama, dia selalu memeluk kotak surat ini. Mama, di mana engkau berada? Apakah engkau memahami kerinduan Ana dalam kesendirian di sini? Mengapa mama tak pernah datang melihat Ana? Juga tak meninggalkan telepon dan alamat? Mama! Di mana engkau berada? Dunia begitu luas, manusia begitu banyak, di mana aku harus mencari mama?

Akhirnya datang juga pak pos mengantarkan surat mama yang ke tujuh puluh dua kepada Ana. Seperti biasanya Ana segera mengambil surat mama dan membukanya. Kakek dan nenek ikut berlari di belakang Ana seperti akan ada kejutan yang terjadi. Surat ini tampak lebih lusuh dan kuning dibandingkan surat-surat terdahulu, apa yang terjadi? Tulisan mama dalam surat tak lagi jelas dan rapi. Dengan tulisan yang sedikit berantakan mama menulis,”Ana, maafkan mama tak bisa menghadiri ulang tahunmu yang ke dua puluh. Sebenarnya mama selalu ingin hadir dalam hari ulang tahunmu setiap tahun. Namun, kalau saja Ana tahu bahwa mama telah meninggaldunia karena kanker lambung sejak Ana berusia tiga tahun, maka Ana pasti bisa memahami mengapa mama tak bisa hadir menemanimu pada setiap hari ulang tahunmu…” “Ana maafkan mama ya…! Ketika mama tahu bahwa hidup mama tak lama lagi, mama menatap wajahmu yang lucu, mendengar suaramu yang jernih mulai belajar memanggil mama…mama…, mama memelukmu erat-erat. Sungguh menyesal sekali, mama tak bisa lagi melihat buah hati mama satu-satunya tumbuh dewasa. Inilah hal yang paling mama sesalkan dalam hidup mama yang singkat.” “Mama tidak takut mati, tapi begitu teringat bahwa mama punya kewajiban untuk mendidik dan membimbingmu hingga dewasa, hati mama bagai diiris sembilu. Betapa mama ingin melihat engkau tumbuh dengan bahagia, namun apa daya mama tak lagi memiliki kesempatan untuk itu. Akhirnya mama memikirkan satu cara yaitu sebelum hidup mama berakhir, dari pagi hingga malam mama membayangkan engkau tumbuh dari tahun ke tahun, mama membayangkan masalah dan peristiwa yang akan engkau hadapi, kemudian dengan berbasuh air mata mama mulai menulis lembar demi lembar surat untukmu. Tujuh puluh dua lembar pesan dalam surat telah mama selesaikan dan mama serahkan kepada pamanmu yang ada di Amerika. Mama berpesan kepadanya untuk mengirimkan surat demi surat di saat-saat penting dalam hidupmu, untuk menyampaikan isi hati dan harapan mama kepadamu. Walau roh mama telah berpulang, namun dengan surat inilah hati mama bertaut dengan hati Ana.” “Saat ini…sambil menatap Ana yang sedang bermain dan merebut surat yang sudah selesai mama tulis…air mata tiada henti mengalir, Ana belum mengerti bahwa hidup mamamu tinggal beberapa hari, tidak mengerti bahwa surat-surat ini akan Ana baca dalam jangkah waktu tujuh belas tahun, satu demi satu menemani Ana tumbuh dewasa. Ana…betapa mama amat menyayangimu, sungguh tak tega meninggalkan Ana sendirian di dunia ini. Sekarang mama hanya bisa dengan sisa tenaga membayangkan Ana yang telah dewasa, Ana yang telah berusia dua puluh tahun. Ana, ini surat mama yang terakhir untukmu, mama tak kuat lagi untuk menulis, tapi kasih sayang mama untukmu melampaui hidup-mati, hingga selamanya…selamanya…”

Baca sampai di sini, Ana tak mampu menahan gelora di hatinya, berbagai perasaan berkecamuk di hatinya. Ana memeluk kakek dan nenek, menjerit dan menangis sekencang-kencangnya. Surat mama jatuh dari genggaman Ana, sebuah foto yang telah menguning jatuh dari lipatan surat. Dalam foto tampak sorotan mata mama yang penuh kasih, terus menatap Ana yang sedang bermain bersama setumpukan surat. Di balik surat tampak goresan pena mama yang telah memudar, tertulis: Selamat ulang tahun Ana, tahun 1998.

Kisah Seorang Yahudi yang Mengislamkan Jutaan Orang



Kamis, 01 Maret 2012

Oleh: MustamidSI SUATU tempat di Prancis sekitar lima puluh tahun yang lalu, ada seorang berkebangsaan Turki berumur 50 tahun bernama Ibrahim. Ia adalah orangtua yang menjual makanan di sebuah toko makanan. Toko tersebut terletak di sebuah apartemen di mana salah satu penghuninya adalah keluarga Yahudi yang memiliki seorang anak bernama "Jad" berumur 7 tahun.

Jad, si anak Yahudi Hampir setiap hari mendatangi toko tempat di mana Ibrahim bekerja untuk membeli kebutuhan rumah. Setiap kali hendak keluar dari toko –dan Ibrahim dianggapnya lengah– Jad selalu mengambil sepotong cokelat milik Ibrahim tanpa seizinnya.

Pada suatu hari usai belanja, Jad lupa tidak mengambil cokelat ketika mau keluar, kemudian tiba-tiba Ibrahim memanggilnya dan memberitahu kalau ia lupa mengambil sepotong cokelat sebagaimana kebiasaannya. Jad kaget, karena ia mengira bahwa Ibrahim tidak mengetahui apa yang ia lakukan selama ini. Ia pun segera meminta maaf dan takut jika saja Ibrahim melaporkan perbuatannya tersebut kepada orangtuanya.

"Tidak apa, yang penting kamu berjanji untuk tidak mengambil sesuatu tanpa izin, dan setiap saat kamu mau keluar dari sini, ambillah sepotong cokelat, itu adalah milikmu”, ujar Jad sebagai tanda persetujun.

Waktu berlalu, tahun pun berganti dan Ibrahim yang seorang Muslim kini menjadi layaknya seorang ayah dan teman akrab bagi Jad si anak Yahudi

Sudah menjadi kebiasaan Jad saat menghadapi masalah, ia selalu datang dan berkonsultasi kepada Ibrahim. Dan setiap kali Jad selesai bercerita, Ibrahim selalu mengambil sebuah buku dari laci, memberikannya kepada Jad dan kemudian menyuruhnya untuk membukanya secara acak. Setelah Jad membukanya, kemudian Ibrahim membaca dua lembar darinya, menutupnya dan mulai memberikan nasehat dan solusi dari permasalahan Jad.

Beberapa tahun pun berlalu dan begitulah hari-hari yang dilalui Jad bersama Ibrahim, seorang Muslim Turki yang tua dan tidak berpendidikan tinggi.

14 Tahun Berlalu

Jad kini telah menjadi seorang pemuda gagah dan berumur 24 tahun, sedangkan Ibrahim saat itu berumur 67 tahun.

Alkisah, Ibrahim akhirnya meninggal, namun sebelum wafat ia telah menyimpan sebuah kotak yang dititipkan kepada anak-anaknya di mana di dalam kotak tersebut ia letakkan sebuah buku yang selalu ia baca setiap kali Jad berkonsultasi kepadanya. Ibrahim berwasiat agar anak-anaknya nanti memberikan buku tersebut sebagai hadiah untuk Jad, seorang pemuda Yahudi.

Jad baru mengetahui wafatnya Ibrahim ketika putranya menyampaikan wasiat untuk memberikan sebuah kotak. Jad pun merasa tergoncang dan sangat bersedih dengan berita tersebut, karena Ibrahim-lah yang selama ini memberikan solusi dari semua permasalahannya,  dan Ibrahim lah satu-satunya teman sejati baginya.

Hari-haripun berlalu, Setiap kali dirundung masalah, Jad selalu teringat Ibrahim. Kini ia hanya meninggalkan sebuah kotak. Kotak yang selalu ia buka, di dalamnya tersimpan sebuah buku yang dulu selalu dibaca Ibrahim setiap kali ia mendatanginya.

Jad lalu mencoba membuka lembaran-lembaran buku itu, akan tetapi kitab itu berisikan tulisan berbahasa Arab sedangkan ia tidak bisa membacanya. Kemudian ia pergi ke salah seorang temannya yang berkebangsaan Tunisia dan memintanya untuk membacakan dua lembar dari kitab tersebut. Persis sebagaimana kebiasaan Ibrahim dahulu yang selalu memintanya membuka lembaran kitab itu dengan acak saat ia datang berkonsultasi.

Teman Tunisia tersebut kemudian membacakan dan menerangkan makna dari dua lembar yang telah ia tunjukkan. Dan ternyata, apa yang dibaca oleh temannya itu, mengena persis ke dalam permasalahan yang dialami Jad kala itu. Lalu Jad bercerita mengenai permasalahan yang tengah menimpanya, Kemudian teman Tunisianya itu memberikan solusi kepadanya sesuai apa yang ia baca dari kitab tersebut.

Jad pun terhenyak kaget, kemudian dengan penuh rasa penasaran ini bertanya, "Buku apa ini?"

Ia menjawab, "Ini adalah Al-Qur'an, kitab sucinya orang Islam!"

Jad sedikit tak percaya, sekaligus merasa takjub,

Jad lalu kembali bertanya, "Bagaimana caranya menjadi seorang muslim?"
Temannya menjawab, "Mengucapkan syahadat dan mengikuti syariat!"

Setelah itu, dan tanpa ada rasa ragu, Jad lalu mengucapkan Syahadat, ia pun kini memeluk agama Islam!

Islamkan 6 juta orang
Kini Jad sudah menjadi seorang Muslim, kemudian ia mengganti namanya menjadi Jadullah Al-Qur'ani sebagai rasa takdzim atas kitab Al-Qur'an yang begitu istimewa dan mampu menjawab seluruh problema hidupnya selama ini. Dan sejak saat itulah ia memutuskan akan menghabiskan sisa hidupnya untuk mengabdi menyebarkan ajaran Al-Qur'an.

Mulailah Jadullah mempelajari Al-Qur'an serta memahami isinya, dilanjutkan dengan berdakwah di Eropa hingga berhasil mengislamkan enam ribu Yahudi dan Nasrani.

Suatu hari, Jadullah membuka lembaran-lembaran Al-Qur'an hadiah dari Ibrahim itu. Tiba-tiba ia mendapati sebuah lembaran bergambarkan peta dunia. Pada saat matanya tertuju pada gambar benua Afrika, nampak di atasnya tertera tanda tangan Ibrahim dan dibawah tanda tangan itu tertuliskan ayat :

((اُدْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ...!!))

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik!!...” [QS. An-Nahl; 125]

Iapun yakin bahwa ini adalah wasiat dari Ibrahim dan ia memutuskan untuk melaksanakannya.

Beberapa waktu kemudian Jadullah meninggalkan Eropa dan pergi berdakwah ke negara-negara Afrika yang di antaranya adalah Kenya, Sudan bagian selatan (yang mayoritas penduduknya adalah Nasrani), Uganda serta negara-negara sekitarnya. Jadullah berhasil mengislamkan lebih dari 6.000.000 (enam juta) orang dari suku Zulu, ini baru satu suku, belum dengan suku-suku lainnya.

Akhir Hayat Jadullah

Jadullah Al-Qur'ani, seorang Muslim sejati, da'i hakiki, menghabiskan umur 30 tahun sejak keislamannya untuk berdakwah di negara-negara Afrika yang gersang dan berhasil mengislamkan jutaan orang.

Jadullah wafat pada tahun 2003 yang sebelumnya sempat sakit. Kala itu beliau berumur 45 tahun, beliau wafat dalam masa-masa berdakwah.

Kisah pun belum selesai

Ibu Jadullah Al-Qur'ani adalah seorang wanita Yahudi yang fanatik, ia adalah wanita berpendidikan dan dosen di salah satu perguruan tinggi. Ibunya baru memeluk Islam pada tahun 2005, dua tahun sepeninggal Jadullah yaitu saat berumur 70 tahun.

Sang ibu bercerita bahwa –saat putranya masih hidup– ia menghabiskan waktu selama 30 tahun berusaha sekuat tenaga untuk mengembalikan putranya agar kembali menjadi Yahudi dengan berbagai macam cara, dengan segenap pengalaman, kemapanan ilmu dan kemampuannya, akan tetapi ia tidak dapat mempengaruhi putranya untuk kembali menjadi Yahudi. Sedangkan Ibrahim, seorang Muslim tua yang tidak berpendidikan tinggi, mampu melunakkan hatinya untuk memeluk Islam, hal ini tidak lain karena Islamlah satu-satunya agama yang benar.

Yang menjadi pertanyaannya, "Mengapa Jad si anak Yahudi memeluk Islam?"

Jadullah Al-Qur'ani bercerita bahwa Ibrahim yang ia kenal selama 17 tahun tidak pernah memanggilnya dengan kata-kata: "Hai orang kafir!" atau "Hai Yahudi!" bahkan Ibrahim tidak pernah untuk sekedar berucap: "Masuklah agama Islam!"

Bayangkan, selama 17 tahun Ibrahim tidak pernah sekalipun mengajarinya tentang agama, tentang Islam ataupun tentang Yahudi. Seorang tua Muslim sederhana itu tak pernah mengajaknya diskusi masalah agama. Akan tetapi ia tahu bagaimana menuntun hati seorang anak kecil agar terikat dengan akhlak Al-Qur’an.

Kemudian dari kesaksian Dr. Shafwat Hijazi (salah seorang dai kondang Mesir) yang suatu saat pernah mengikuti sebuah seminar di London dalam membahas problematika Darfur serta solusi penanganan dari kristenisasi, beliau berjumpa dengan salah satu pimpinan suku Zolo. Saat ditanya apakah ia memeluk Islam melalui Jadullah Al-Qur’ani?, ia menjawab; tidak! namun ia memeluk Islam melalui orang yang diislamkan oleh Jadullah Al-Qur'ani.

Subhanallah, akan ada berapa banyak lagi orang yang akan masuk Islam melalui orang-orang yang diislamkan oleh Jadullah Al-Qur’ani. Dan Jadullah Al-Qur'ani sendiri memeluk Islam melalui tangan seorang muslim tua berkebangsaan Turki yang tidak berpendidikan tinggi, namun memiliki akhlak yang jauh dan jauh lebih luhur dan suci.

Begitulah hikayat tentang Jadullah Al-Qur'ani, kisah ini merupakan kisah nyata yang penulis dapatkan kemudian penulis terjemahkan dari catatan Almarhum Syeikh Imad Iffat yang dijuluki sebagai "Syaikh Kaum Revolusioner Mesir". Beliau adalah seorang ulama Al-Azhar dan anggota Lembaga Fatwa Mesir yang ditembak syahid dalam sebuah insiden di Kairo pada hari Jumat, 16 Desember 2011 silam.

Kisah nyata ini layak untuk kita renungi bersama di masa-masa penuh fitnah seperti ini. Di saat banyak orang yang sudah tidak mengindahkan lagi cara dakwah Qur'ani. Mudah mengkafirkan, fasih mencaci, mengklaim sesat, menyatakan bid'ah, melaknat, memfitnah, padahal mereka adalah sesama muslim.

Dulu da'i-da'i kita telah berjuang mati-matian menyebarkan Tauhid dan mengislamkan orang-orang kafir, namun kenapa sekarang orang yang sudah Islam malah justru dikafir-kafirkan dan dituduh syirik? Bukankah kita hanya diwajibkan menghukumi sesuatu dari yang tampak saja? Sedangkan masalah batin biarkan Allah yang menghukumi nanti. Kita sama sekali tidak diperintahkan untuk membelah dada setiap manusia agar mengetahui kadar iman yang dimiliki setiap orang.

Mari kita renungi kembali surat Thaha ayat 44 yaitu Perintah Allah swt. kepada Nabi Musa dan Harun –'alaihimassalam– saat mereka akan pergi mendakwahi fir'aun. Allah berfirman,

((فَقُولاَ لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى))

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut.”

Bayangkan, Fir'aun yang jelas-jelas kafir laknatullah, namun saat dakwah dengan orang seperti ia pun harus tetap dengan kata-kata yang lemah lembut, tanpa menyebut dia Kafir Laknatullah! Lalu apakah kita yang hidup di dunia sekarang ini ada yang lebih Islam dari Nabi Musa dan Nabi Harun? Atau adakah orang yang saat ini lebih kafir dari Fir'aun, di mana Al-Qur'an pun merekam kekafirannya hingga kini?

Lantas alasan apa bagi kita untuk tidak menggunakan dahwah dengan metode Al-Qur'an? Yaitu dengan Hikmah, Nasehat yang baik, dan Diskusi menggunakan argumen yang kuat namun tetap sopan dan santun?

Maka dalam dakwah yang perlu kita perhatikan adalah bagaimana cara kita agar mudah menyampaikan kebenaran Islam ini.
Oleh karenanya, jika sekarang kita dapati ada orang yang kafir, bisa jadi di akhir hayatnya Allah akan memberi hidayah kepadanya sehingga ia masuk Islam.
Bukankah Umar bin Khattab dulu juga pernah memusuhi Rasulullah? Namun Allah berkehendak lain, sehingga Umar pun mendapat hidayah dan akhirnya memeluk Islam. Lalu jika sekarang ada orang muslim, bisa jadi di akhir hayatnya Allah mencabut hidayah darinya sehingga ia mati dalam keadaan kafir. Na'udzubillah tsumma Na'udzubillahi min Dzalik.

Karena sesungguhnya dosa pertama yang dilakukan iblis adalah sombong dan angkuh serta merasa diri sendiri paling suci sehingga tak mau menerima kebenaran Allah dengan sujud hormat kepada nabi Adam –'alaihissalam–. Oleh karena itu, bisa jadi Allah mencabut hidayah dari seorang muslim yang tinggi hati lalu memberikannya kepada seorang kafir yang rendah hati. Segalanya tiada yang mustahil bagi Allah!

Marilah kita pertahankan akidah Islam yang telah kita peluk ini, dan jangan pernah mencibir ataupun "menggerogoti" akidah orang lain yang juga telah memeluk Islam serta bertauhid. Kita adalah saudara seislam seagama. Saling mengingatkan adalah baik, saling melindungi akidah sesama muslim adalah baik. Marilah kita senantiasa berjuang bahu-membahu demi perkara yang baik-baik saja. Wallahu Ta'ala A'la Wa A'lam Bis-Shawab.*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar



chatt